Syeikh Burhanuddin Ulakan dikenal sebagai mursyid tarekat Syathariyah. Ia penggagas munculnya surau di Minangkabau
Tiap bulan safar di Pariaman digelar upacara besar-besaran. Namanya Basapa.Ritual ini menurut Siddi Gazalba
adalah ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ulama ini dikenal sebagai salah seorang penyebar tarekat Syatariyyah dan Islam di wilayah Sumatera Barat.
Ziarah ini biasanya diselengga-rakan pada tanggal 10 safar dan diikuti oleh puluhan ribu peziarah.
Ziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman merupakan aktivitas kaum Syatta-riyah yang sarat dengan unsur musikal. Bentuk-bentuk amalan ibadah yang mengandung unsur-unsur musikal ini sekaligus juga dilakukan dalam aktivitas ibadah ritual keagamaan yang berlaku umum bagi masyarakat penganut aliran tarekat Syattariyah di Nagari Pitalah Bungo Tanjung seperti “Barzanji”, “manamat”, “Baratik”, dan “Badoa”.
Syeikh Burhanuddin lahir bernama asli Pono. Tempat kelahirannya tidak banyak catatan.
KH Sirajuddin Abbas mengatakan Syeikh Burhanuddin berasal dari suku Guci. Hal ini didasarkan pada Cukuik yang berasal dari suku Guci. Ayahnya bernama Pampak dari suku Koto. Masa kecilnya bisa dikatakan belum mengenal agama. Konon ayahnya beragama Budha.
Kesukaannya berdagang Batang Bengkawas. Kehidupan Syeikh Burhanuddin bisa dibilang penuh liku. Sejak kecil hidup berpindah-pindah. Ia mengikuti ayahnya ke Sintuk. Di kota ini ia mendapat julukan datuk Sati. Keluarga Pampak diberi sebuah lahan oleh ninik mamak setempat. Kemudian Pono pergi merantau ke Tapakis untuk berguru dengan Syeikh Yahyuddin yang mendapat gelar Syeikh Madinah.
Setelah selesai ia kembali lagi ke kampungnya. Bagaimanapun Pono tetap melaksanakan tugas dakwah yang akibatnya tentangan semakin menjadi-jadi.
Maka akhirnya pihak yang tidak menyukai kegiatan itu mengusir dan mengancam untuk membunuh Pono.
Pada saat kritis pergi ke gurunya Syeikh Yahyuddin. Atas saran gurunya, Pono kemudian pergi ke Aceh untuk berlajar pada Syeikh Abdul Rauf Al-Singkil. Bersama empat orang rekannya, yaitu Datuk Maruhun dari Padang Ganting Batusangkar, Terapang (Kubang Tiga Baleh Solok), Muhammad Nasir (Koto Tengah Padang) serta Buyung Mudo (Tarusan) berangkat ke Aceh Di bumi Serambi Mekah ini, Pono berjumpa dengan Syeikh Abdurrauf al Fansuri.
Ada versi yang mengatakan mulanya ia tidak berhasrat untuk mencari ilmu pada syeikh Hamzan Fansuri. Mata batinnya melihat Pono berbakat untuk menjadi ulama besar. Maka selama 13 tahun Pono digembleng oleh Syeikh Abdurrauf al Fansuri.
Pono semasa nyantri dikenal sebagai seorang yang sangat tunduk pada guru. Ada satu cacatan mengenai hal ini. Pada suatu hari gurunya mengunyah sirih. Tiba-tiba tempat kapur sirihnya jatuh kedalam kakus. Padahal kakus tersebut dalam dan telah dipakai berpuluh-puluh tahun. Gurunya kemudian berkata,” Siapa diantara kalian sebanyak ini yang sudi membersihkan kakus itu sebersih-bersihnya? Dan siapa pula yang mau mengambil tempat sirih saya yang terjatuh di dalamnya?”
Murid-murid banyak yang merasa enggan. Tapi lain halnya dengan Pono. Ia justru berjam-jam membersihkan kakus tersebut dan mendapatkan tempat sirih gurunya. Melihat kerja keras sang muridnya, gurunya berdoa panjang sekali. Setelah selesai gurunya berkata,” Tanganmu akan dicium oleh raja-raja, penghulu-penghulu dan orang besar se antero negeri. Muridmu tidak akan terputus-putus sampai akhir zaman, dan ilmu kamu yang akan memberkati dunia. Maka aku namai kamu Saidi Syeikh Burhanuddin.”
Setelah dirasa cukup, Pono yang kemudian tenar dengan nama Burhanuddin ingin pulang ke kampungnya. Sebelum meninggalkan pesantren, gurunya berpesan, Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu yang ditakdirkan Allah. Kalau kamu tetap kasih, takut , malu kepadaku nanti kamu akan mendapatkan hikmah.
Dan apabila orang telah diberi ilmu hikmah, maka terbuka rahasia Allah, dan berbahagialah orang itu dunia akhirat.”
Menurut Hamka, Syeikh Burhanudddin kembali pada tahun1680 M. Kegiatan dakwah yang dijalankan tidak bertahan lama.
Banyak tantangan yang dihadapi, terutama oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan ada yang berusaha menghentikan dakwahnya. Pada abad ke-17, Burhanuddin, pemuda Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, nyantri ke Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Aceh.
Ia lalu kembali ke kampung mendirikan langgar. Ini, menurut guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Profesor Azyumardi Azra, merupakan surau pertama di Sumatera Barat yang penuh muatan keilmuan (Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, 2003)
Syeikh Burhanudin adalah ulama pertama yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan dan kemudian di suraunya yang baru di Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakatnya.
Salah satu cabang pertama dari Surau Burhanudin di darek adalah Pemansiangan, Kapeh-kapeh, Padangpanjang. Dari sana kemudian Islam disebarkan ke Kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke Batulading di Tanahdatar.
Sampai akhir abad ke-18 surau-surau di darek terutama di sekitar wilayah sekitar Kota Tua.
Metoda Baru Burhanudddin pulang ke Ulakan mendirikan surau di tanjung Medan.
Berkat ketekunannya, ia berhasil ajaran agama di Sumatra bagian tengah. Pengaruhnya paling besar ada di masyarakat pedalaman.
Syeikh Burhanudddin di kenal sebagai penganut tarekat Syatariyah. Tapi ia juga disegani oleh tokoh dan pengikut rakat lain seperti tarekat Naqsyahbandiyah, Samaniyah dan qadiriyah. Bahkan tidak sedikit yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu agama yang mereka miliki merupakan hasil tuntunan syeikh Burhanuddin.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam, terutama ditujukan kepada kanak-kanak yang masih dalam keadaan ‘bersih’ dan mudah dipengaruhi. Jumlah mereka yang belajar agama Islam semakin bertambah banyak. Pondok tempat yseikh Burhanuddin mengajar penuh sesak.
Pengaruh Syeikh Burhanuddin terus meluas dengan mendapat sambutan di Gadur Pakandangan, Sicincin, Kepala Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan, Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan Pagaruyung.
Minangkabau waktu itu menjadi heboh. Perhatian masyarakat Minang tertumpu ke Tanjung Medan Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islamam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.
Abdurrauf begitulah nama yang dilekatkan kepada anak lelaki itu. Dalam pertumbuhannya kelak ia dikenal sebagai ulama. Dan orang-orang dengan hormat memanggilnya dengan sebutan Syeikh Abdurrauf. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Oleh kharisma yang dimilikinya kemudian orang memberi sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala atau Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafat¬nya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel l593 M), Aceh Selatan.
Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada ‘Dayah Simpang Kanan’ di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di ‘Dayah Teungku Chik’ yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.
Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syam¬suddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar neg¬eri, lk l9 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari l5 orang ulama.
Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan l5 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, ‘Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...’.
Pada tahun l66l M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perja¬lanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.
Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: “Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajaran¬nya dalam ilmu tasawuf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri- ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.
Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekira¬nya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri’.(‘Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-l7)’(Dewan Bahasa, 9;5, Mei l965).
Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., ‘Turjumanul Mustafiid’, ‘Miraatut Thullab’ (Kitab Ilmu Hukum), ‘Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin’ (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), ‘Bayan Tajalli’ (Ilmu Tasawuf), dan ‘Kifayat al-Muhtajin’(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, ‘Syair Ma’rifat’.
Sebagai penyair sufi Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaian¬nya dalam menulis puisi ‘Syair Ma’rifat’ itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun l859. Syair Ma’¬rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi. Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,
jikalau diibarat sebiji kelapa kulit dan isi tiada serupa janganlah kita bersalah sapa tetapi beza tiadalah berapa
sebiji kelapa ibarat sama lafaznya empat suatu ma’ana di situlah banyak orang terlena sebab pendapat kurang sempurna kulitnya itu ibarat syariat tempurungnya itu ibarat tariqat isinya itu ibarat haqiqat minyaknya itu ibarat ma’rifat
(‘Syair Ma’rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)
Tingkat ma’rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma’rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: “Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma’rifat”.
Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma’rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,
Airnya itu arak yang mabuk siapa minum jadi tertunduk airnya itu menjadi tuba siapa minum menjadi gila
ombaknya itu amat gementam baiklah bahtera sudahnya karam laut ini laut haqiqi tiada bertengah tiada bertepi
Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul ‘Kifayat al-Muhtajin’ disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul ‘Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah.
Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia l05 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.
TarekatSyattariyahadalahalirantarekat yang pertamakalimunculdiIndiapadaabadke 15. Tarekatinidinisbahkankepadatokoh yang mempopulerkandanberjasamengembangkannya, Abdullahasy-Syattar.
KeduanamainiditurunkandarinamaAbuYazidal-Isyqi, yang dianggapsebagaitokohutamanya. AkantetapidalamperkembanganselanjutnyaTarekatSyattariyahtidakmenganggapdirinyasebagaicabangdaripersatuansufimana pun. Tarekatinidianggapsebagaisuatutarekattersendiri yang memilikikarakteristik-karakteristiktersendiridalamkeyakinandanpraktik.
Hanyasedikit yang dapatdiketahuimengenaiAbdullahasy-Syattar. Ia adalahketurunanSyihabuddinSuhrawardi. KemungkinanbesariadilahirkandisalahsatutempaatdisekitarBukhara. Di sinipulaiaditahbiskansecararesmimenjadianggotaTarekatIsyqiyaholehgurunya, Muhammad Arif.
Nisbahasy-Syattar yang berasaldarikatasyatara, artinyamembelahdua, dannampaknya yang dibelahdalamhaliniadalahkalimahtauhid yang dihayatididalamdzikirnafiitsbat, la ilaha (nafi) danillallah (itsbah), juganampaknyamerupakanpengukuhandarigurunyaatasderajat spiritual yang dicapainya yang kemudianmembuatnyaberhakmendapatpelimpahanhakdanwewenangsebagaiWashitah (Mursyid). IstilahSyattarsendiri, menurutNajmuddinKubra, adalahtingkatpencapaian spiritual tertinggisetelahAkhyardanAbrar. Ketigaistilahini, dalamhierarki yang sama, kemudianjugadipakaididalamTarekatSyattariyahini. Syattardalamtarekatiniadalah para sufi yang telahmampumeniadakanzat, sifat, danaf'aldiri (wujudjiwa raga).
NamunkarenapopularitasTarekatIsyqiyahinitidakberkembangditanahkelahirannya, danbahkanmalahsemakinmemudarakibatperkembanganTarekatNaksyabandiyah, Abdullahasy-SyattardikirimkeIndiaolehgurunyatersebut. SemulaiatinggaldiJawnpur, kemudianpindahkeMondu, sebuahkotamuslimdidaerahMalwa (Multan). Di India inilah, iamemperolehpopularitasdanberhasilmengembangkantarekatnyatersebut.
TidakdiketahuiapakahperubahannamadariTarekatIsyqiyah yang dianutnyasemulakeTarekatSyattariyahatasinisiatifnyasendiri yang inginmendirikantarekatbarusejakawalkedatangannyadiIndiaataukahatasinisiatifmurid-muridnya. Ia tinggaldiIndiasampaiakhirhayatnya (1428).
SepeninggalAbdullahasy-Syattar, TarekatSyattariyahdisebarluaskanolehmurid-muridnya, terutama Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenalsebagaiQazanSyattari. Dan muridnya yang paling berperandalammengembangkandanmenjadikanTarekatSyattariyahsebagaitarekat yang berdirisendiriadalah Muhammad GhausdariGwalior (w.1562), keturunankeempatdari sang pendiri. Muhammad GhausmendirikanGhaustiyyah, cabangSyattariyah, yang mempergunakanpraktik-praktik yoga. SalahseorangpenerusnyaSyahWajihuddin (w.1609), walibesar yang sangatdihormatidiGujarat, adalahseorangpenulisbuku yang produktifdanpendirimadrasah yang berusia lama. Sampaiakhirabadke-16, tarekatinitelahmemilikipengaruh yang luasdiIndia. Dari wilayahiniTarekatSyatttariyahterusmenyebarkeMekkah, Madinah, danbahkansampaikeIndonesia.
Tradisitarekat yang bernafasIndiainidibawakeTanahSuciolehseorangtokohsufiterkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salahseorangmuridWajihuddin, danmendirikanzawiyahdiMadinah. SyekhinitidaksajamengajarkanTarekatSyattariah, tetapijugasejumlahtarekatlainnya, sebutlahmisalnyaTarekatNaqsyabandiyah. KemudianTarekatinidisebarluaskandandipopulerkankeduniaberbahasa Arab lainnyaolehmuridutamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitujugaolehsalahseorangkhalifahnya, yang kemudiantampilmemegangpucukpimpinantarekattersebut, seorang guru asalPalestina, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).
Setelah Ahmad al-Qusyasyimeninggal, Ibrahim alKurani (w. 1689), asalTurki, tampilmenggantikannyasebagaipimpinantertinggidanpenganjurTarekatSyattariyah yang cukupterkenaldiwilayahMadinah.
Duaorang yang disebutterakhirdiatas, Ahmad al-Qusyasyidan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul RaufSingkel yang kemudianberhasilmengembangkanTarekatSyattariyahdi Indonesia. Namunsebelum Abdul Rauf. Telahadaseorangtokohsufi yang dinyatakanbertanggungjawabterhadapajaranSyattariyah yang berkembangdiNusantaralewatbukunyaTuhfatal-MursalatilaarRuh an-Nabi, sebuahkarya yang relatifpendektentangwahdatal-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullahal-Bunhanpuri (w. 1620), jugasalahseorangmuridWajihuddin. Bukunya, Tuhfatal-Mursalat, yang menguraikanmetafisikamartabattujuhinilebihpopulerdiNusantaraketimbangkaryaIbnuArabisendiri. Martin van Bruinessenmendugabahwakemungkinankarenaberbagaigagasanmenarikdarikitabini yang menyatudenganTarekatSyattariyah, sehinggakemudianmurid-muridasal Indonesia yang bergurukepadaal-Qusyasyidan Al-Kuranilebihmenyukaitarekatiniketimbangtarekat-tarekatlainnya yang diajarkanolehkedua guru tersebut. BukuinikemudiandikutipjugaolehSyamsuddinSumatrani (w. 1630) dalamulasannyatentangmartabattujuh, meskipuntidakadapetunjukatausumber yang menjelaskanmengenaiapakahSyamsuddinmenganuttarekatini. Namun yang jelas, tidak lama setelahkematiannya, TarekatSyattariyahsangatpopulerdikalanganorang-orangIndonesia yang kembalidariTanah Arab.
Abdul Raufsendiri yang kemudianturutmewarnaisejarahmistik Islam di Indonesia padaabadke-17 ini, menggunakankesempatanuntukmenuntutilmu, terutamatasawufketikamelaksanakanhajipadatahun 1643. Ia menetapdi Arab Saudi selama 19 tahundanbergurukepadaberbagaitokohagamadanahlitarekatternama. Sesudah Ahmad Qusyasyimeninggal, iakembalikeAcehdanmengembangkantarekatnya. KemasyhurannyadengancepatmerambahkeluarwilayahAceh, melaluimurid-muridnya yang menyebarkantarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, diSumateraBaratdikembangkanolehmuridnyaSyekhBurhanuddindariPesantrenUlakan; diJawaBarat, daerahKuningansampaiTasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari JawaBarat, tarekatinikemudianmenyebarkeJawaTengahdanJawa Timur. Di SulewasiSelatandisebarkanolehsalahseorangtokohTarekatSyattariyah yang cukupterkenaldanjugamuridlangsungdari Ibrahim al-Kurani, YusufTajulKhalwati (1629-1699).
Martin menyebutkanbahwasejumlahcabangtarekatinikitatemukandiJawadanSumatera, yang satudenganlainnyatidaksalingberhubungan. Tarekatini, lanjut Martin, relatifdapatdengangampangberpadudenganberbagaitradisisetempat; iamenjaditarekat yang paling "mempribumi" diantaraberbagaitarekat yang ada. Padasisi lain, melaluiSyattariyah-lahberbagaigagasanmetafisissufidanberbagaiklasifikasisimbolik yang didasarkanatasajaranmartabattujuhmenjadibagiandarikepercayaanpopulerorangJawa.
AjarandanDzikirTarekatSyattariyah Perkembanganmistiktarekatiniditujukanuntukmengembangkansuatupandangan yang membangkitkankesadaranakan Allah SWTdidalamhati, tetapitidakharusmelaluitahapfana'. PenganutTarekatSyattariyahpercayabahwajalanmenuju Allah itusebanyakgeraknapasmakhluk. Akantetapi, jalan yang paling utamamenuruttarekatiniadalahjalan yang ditempuholehkaumAkhyar, Abrar, danSyattar. SeorangsaliksebelumsampaipadatingkatanSyattar, terlebihdahuluharusmencapaikesempurnaanpadatingkatAkhyar (orang-orangterpilih) danAbrar (orang-orangterbaik) sertamenguasairahasia-rahasiadzikir. Untukituadasepuluhaturan yang harusdilaluiuntukmencapaitujuantarekatini, yaitutaubat, zuhud, tawakkal, qana'ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, danmusyahadah.
Sebagaimanahalnyatarekat-tarekat lain, TarekatSyattariyahmenonjolkanaspekdzikirdidalamajarannya. Tigakelompok yang disebutdiatas, masing-masingmemilikimetodeberdzikirdanbermeditasiuntukmencapaiintuisiketuhanan, penghayatan, dankedekatankepada Allah SWT. KaumAkhyarmelakukannyadenganmenjalanishalatdanpuasa, membacaal-Qur'an, melaksanakanhaji, danberjihad. KaumAbrarmenyibukkandiridenganlatihan-latihankehidupanasketismeatauzuhud yang keras, latihanketahananmenderita, menghindarikejahatan, danberusahaselalumensucikanhati. SedangkaumSyattarmemperolehnyadenganbimbinganlangsungdariarwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikirkaumSyattarinilahjalan yang tercepatuntuksampaikepada Allah SWT.
Di dalamtarekatini, dikenaltujuhmacamdzikirmuqaddimah, sebagaipelataranatautanggauntukmasukkedalamTarekatSyattariyah, yang disesuaikandengantujuhmacamnafsupadamanusia. Ketujuhmacamdzikirinidiajarkan agar cita-citamanusiauntukkembalidansampaike Allah dapatselamatdenganmengendaraitujuhnafsuitu. Ketujuhmacamdzikiritusebagaiberikut:
1. Dzikirthawaf, yaitudzikirdenganmemutarkepala, mulaidaribahukirimenujubahukanan, denganmengucapkanlaailahasambilmenahannafas. Setelahsampaidibahukanan, nafasditariklalumengucapkanillallah yang dipukulkankedalamhatisanubari yang letaknyakira-kiraduajaridibawahsusukiri, tempatbersarangnyanafsulawwamah.
2. Dzikirnafiitsbat, yaitudzikirdenganlaailahaillallah, denganlebihmengeraskansuaranafi-nya, laailaha, ketimbangitsbat-nya, illallah, yang diucapkansepertimemasukkansuarakedalam yang Empu-NyaAsma Allah.
3. Dzikiritsbatfaqat, yaituberdzikirdenganIllallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkankedalamhatisanubari.
4. DzikirIsmuDzat, dzikirdengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkanketengah-tengahdada, tempatbersemayamnyaruh yang menandaiadanyahidupdankehidupanmanusia.
5. DzikirTaraqqi, yaitudzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambildaridalamdadadanHudimasukkankedalam bait al-makmur (otak, markaspikiran). Dzikirinidimaksudkan agar pikiranselalutersinariolehCahayaIlahi.
6. DzikirTanazul, yaitudzikirHu-Allah, Hu-Allah. DzikirHudiambildari bait al-makmur, dan Allah dimasukkankedalamdada. Dzikirinidimaksudkan agar seorangsaliksenantiasamemilikikesadaran yang tinggisebagaiinsanCahayaIlahi.
7. Nafsu Kamilah, letaknyadikedalamandada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmulyaqin, ainulyaqin, danhaqqulyaqin.
Khususdzikirdengannama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekatinimembagidzikirjenisinikedalamtigakelompok. Yakni, a) menyebutnama-nama Allah SWT yang berhubungandengankeagungan-Nya, sepertial-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain; b) menyebutnama Allah SWT yang berhubungandengankeindahan-Nyaseperti, al-Malik, al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan c) menyebutnama-nama Allah SWT yang merupakangabungandarikeduasifattersebut, sepertial-Mu'min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketigajenisdzikirtersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Burhanuddin (Ulakan, Pariaman), kepada Tuangku Jangut Nan Hitam, kepada Tuangku Kali Lubuk Ipuah (Abdurrahman), kepada Tuangku Sutan Pariaman (Amarulah) Pakan Usang, kepada Tuangku Lima Puluh (M. Jinan) Duo Koto, kepada Tuangku Aluma Koto Tuo, kepada Tuangku Kiambang (Sicincin), kepada Tuangku Mudo Bachtiar Surau Pandan, kepada Tuangku Itam bin Abu Bakar Surau Cubadak (Ainul Ma'ruf) (Bengkulu), kepada Tuangku Panglima Siregar (Palembang).